Who Am I? Not Spiderman

My photo
Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia
Rizky Novrianto is just an ordinary human being who try to live his life as extraordinary as it can be. I like to be different. You maybe able to find someone better than me, but You may never find someone like me. I hope common courtesy hasn't die yet. Treat people the way you want to be treated and even more, treat other people the way they want to be treated.

Thursday, March 31, 2016

Dibalik Ketentuan Ganti Rugi Delay Pesawat

Setiap kita yang pernah naik pesawat atau paling ga ke bandara, pasti udah khatam banget dengan iming-iming sebagai berikut:

  1. Telat 30-90 menit dapet minuman dan makanan ringan
  2. Telat 90-180 menit dapet minuman dan makanan ringan plus makan siang atau malam plus mindahin ke penerbangan lain jika diminta penumpang
  3. Telat lebih dari 180 menit, dapet 2 poin diatas plus diaksih akomodasi kalo diangkutnya pake penerbangan hari berikutnya

Bahkah ada lebih lanjut lagi,

  1. Telat lebih dari 4 jam, dapet Rp.300 ribu
  2. Ganti rugi 50% kalo di-reroute ke tempat lain plus dikasih angkutan sampe ke kota yg dituju
  3. Kalo dipindahin ke penerbangan lain, kalo upgrade ga bayar, tapi downgrade dibalikin selisihnya.

Tiga poin pertama tadi itu adanya di Pasal 36 Permenhub 25/2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara sedangkan yang lanjutannya adanya di Pasal 10 Permenhub 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Tapi dari beberapa kali QQ terlibat dalam pembuatan sebuah peraturan, QQ menyadar isesuatu bahwa selalu ada exit clause yang dimana terselip untuk menghindari aturan-aturan yang sudah ditentukan. Di Permenhub 77/2011 ini terdapat exit clause yang sangat luar biasa dan QQ percaya pasti lobby tuh perusahaan-perusahaan penerbangan terutama, you know which one, pasti kencengnya bukan maen.

Begini exit clause-nya:

  1. Pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a yang disebabkan oleh faktor cuaca dan/atau teknis operasional.
  2. Faktor cuaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain hujan Iebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.
  3. Teknis Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain :

    • bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
    • lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
    • terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau
    • keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)

Ini adalah sebuah exit clause alias ngeles yang luar biasa. Yang kalo menurut QQ, pada dasarnya peraturan tentang kompensasi bagi penumpang itu semuanya menjadi ga valid.

Sering ga sih ketika kita udah di pesawat setelah delay katakanlah sejam, kita ga dapet-apa-apa dan kemudian di pesawat pilotnya bilang, "Mohon maaf atas keterlambatan yang dikarenakan alasan teknis"

Jadi ada dua faktor yang bisa membuat pasal tentang kompensasi tadi. Yaitu cuaca dan teknis operasional. Pertanyannya adalah, emang ada alasan lain lagi pesawat bisa telat?

Katakanlah misalkan, "Mohon maaf, keterlambatan dikarenakan pilot-nya telat datangnya akibat macet di Kampung Melayu..."
Mana ada...
Atau, "Mohon maaf, keterlambatan dikarenakan kami sengaja memperlambat penerbangan anda..."

Jadi, sekalipun pesawat kalian telat berjam-jam, jangan harapkan kalian mendapatkan kompensasi. Jika ternyata tetep dapet, maka itu adalah diskresi penerbangan tersebut untuk mempertahankan nama baiknya, karena secara hukum dan aturan yang berlaku, mereka tidak memiliki kewajiban sama sekali untuk memberikan kompensasi tersebut, kalo mereka mau niat naik banding ke pengadilan jika penumpangnya menuntut.

Oke, kita ga usah ngebahas soal faktor cuaca, karena hal tersebut emang udah faktor alam yang sangat tidak bisa kita prediksi. Tapi yang harus kita fokuskan adalah faktor teknis operasional.

QQ tuh kadang ngebayangin. Terminal Soekarno Hatta aja. Di sana ada tiga terminal. masing-masing terminal punya tiga huruf (A, B, C, D, E, F) dan terminal 3 QQ kurang familiar. tapi katakanlah ada 9 terminal di Bandara Soekarno Hatta dan masing-masing terminal tersebut memiliki up to tujuh ruang tunggu. Dan kalo dibayangkan aja, sebagai bandara internasional dan domestik sebuah ibukota negara sebesar Indonesia, ada berapa ratus penerbangan tiap harinya? sementara berapa landasan yang dimiliki oleh Bandara Soekarno Hatta? kalo QQ merhatiin sih kayanya cuma dua.

Nah, ratusan penerbangan tersebut tidak hanya rebutan buat landing, tapi rebutan juga buat pake ruang tunggu yang terbatas tadi. Terkadang kita mendarat di tempat entah berantah yang bandara sendiri menyebutnya sebagai "remote area" dan untuk ke ruang tunggu kita menggunakan bis.Udah gitu, perilaku penumpang Indonesia yang mepet, apalagi kalo orang tersebut merasa sok penting. 

Belum lagi misalkan bahan bakar pesawatnya abis, sementara mobil pengisi bahan bakar juga terbatas jumlahnya dan pesawat yang harus diisi banyak.

QQ membayangkan ini adalah argumen yang digunakan oleh maskapai penerbangan ketika peraturan ini dibuat, "Hal tersebut adalah faktor eksternal yang kami tidak bisa mengendalikannya, sehingga kami meminta exit clause agar kami tidak membayar kompensasi yang diakibatkan oleh kesalahan pihak luar"

Jadi kalo pesawat kita delay, hampir bisa QQ pastikan alasannya adalah teknis operasional, yah selain alasan cuaca buruk. 

Nah, bisakah kalian memikirkan kira-kira ada alasan lain apa lagi pesawat yang kita tunggu bisa delay?

Kalo QQ sih ga bisa.

Jadi apakah peraturan tentang kompensasi itu void dan ga ada maknanya?? kalo menurut QQ iya.

Alasan pesawat delay, pasti karena dua hal tersebut, cuaca dan teknis operasional. Jadi katakanlah pesawat kalian telat 5 jam, jika maskapai bisa menjustifikasi alasan keterlambatannya adalah teknis operasional, maka kalian tidak akan menerima sepeserpun bahkan segelas air mineral. 

Namun, sebagai maskapai penerbangan yang mengutamakan kepuasan konsumen, tentu saja hal tersebut akan dihindari. Kemungkinan besar maskapai akan melaksanakan ketentuan tersebut, sekalipun sebenarnya mereka tidak memiliki kewajiban sama sekali untuk memberikan kompensasi atas keterlambatan mereka.

eh tapi ada disclaimer-nya untuk blog ini,
QQ bukan Sarjana Hukum dan bukan pakar dunia penerbangan, jadi tulisan ini hanya berdasarkan teori konstipasi aja... bener, bukan konspirasi... kepikirnya emang pas lagi konstipasi di WC. hahaha...

Nah, masih merasa punya hak mendapatkan kompensasi kalo pesawat kalian kena delay???
Sekali lagi, marah-marah di bandara emang ga ada gunanya...
kalo pesawat delay, sabar ajalah... karena peraturan yang ada memang tidak memihak kepada konsumen. Konsumen dalam posisi yang lemah berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan tersebut.

Namun kenapa suatu maskapai bisa on time sementara maskapai lainnya bisa delay parah?
Itu menurut QQ, manajemen waktunya yang ga bagus.

Pernah ga ngitung waktu kita di udara?
kadang di tiket kita bilang penerbangan kita dari jam 07.00 - 08.10 alias satu jam sepuluh menit, namun kenyataannya, kita di udara hanya sekitar setengah jam. Contohnya penerbangan Jakarta - Jogja. Jadi dalam waktu tersebut, sudah mengadopsi waktu untuk take-off dan landing serta parkir pesawat. Nah, rata-rata semua pesawat sudah mengadopsi hal tersebut, namun ada beberapa maskapai yang sifatnya "kejar setoran" mungkin maskapai A memberi waktu satu jam antar penerbangan, karena butuh bersih-bersih pesawat dan lain-lain, sementara maskapai B cuma mengalokasikan setengah jam karena mengejar tujuan selanjutnya, sehingga ketika satu penerbangan delay, nyamber-nya sampe ke penerbangan-penerbangan selanjutnya. Ga ada buffer yang disiapkan untuk jaga-jaga keterlambatan tersebut.

Dalam teori manajemen, ini adalah prinsip yang bagus yaitu just in time management dimana kita memang mengalokasikan waktu yang pas sehingga ga ada yang mubazir. Hanya saja, teori ini kita terapkan kalo value chain yang kita gunakan bagus. Masalahnya di Indonesia adalah value chain sehubungan sistem transportasi udara ini belum bagus, bandaranya masih ngantri, pesawat cari parkir aja lama, jadi manajer yang baik harusnya menghitung hal tersebut. Just in time theory-nya harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.

Selain itu, perbaikan dari sisi Angkasa Pura selaku operator bandara juga harus lebih baik, penambahan terminal harus disesuaikan dengan jumlah penerbangan yang ada.

Air Asia di Singapura dan Kuala Lumpur, ga pernah telat. Tapi begitu di Indonesia, hedehhh....
Masalahnya terlepas dari manajemen maskapainya bagus atau nggak, manajemen bandaranya emang udah bagus, jadinya pesawat-pesawat lancar masuk dan keluar. Mana ada di Changi turun pesawat trus naik bus buat ke bandaranya.

Wah bahasan menyimpang jadi delay pesawat secara umum... hahaha..
Tapi mungkin ini juga pembahasan secara logika kenapa kita sebaiknya tidak teriak-teriak di bandara ketika pesawat kita kena delay.

Pertama-tama, kita memang tidak memiliki hal terhadap kompensasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan tersebut, kedua, Kita tahu maskapai you know which one itu hobinya emang telat, jadi kenapa kita masih milih tuh pesawat??

Kalo QQ sih emang cintanya ama maskapai yang kasih harga murah, dan kebetulan maskapai you know which one itu emang sering banting harga.
Jadi kalo kita udah ngambil keputusan buat naik tuh maskapai, siapkan buffer untuk tidak memiliki ekspektasi tinggi akan ketepatan waktunya. Datanglah on time ke bandara, namun persiapkan aktifitas untuk siap-siap kalo beneran delay. Ingat prinsip, "Think pessimistic but act optimistic" ??

Kalo ternyata ga delay, Alhamdulillah, tapi kalo ternyata delay, ya buka laptop trus nulis blog aja deh sambil nunggu pesawatnya datang. hahahaha....

Inner peace banget ga sih hidup kita? 

Tapi hal ini emang harus menjadi perhatian Kementerian yang membidangi Perhubungan dan juga mungkin oleh badan yang membidangi perlindungan konsumen, karena Pihak Bandara, pihak Pengisi Bahan Bakar juga memiliki tanggung jawab dalam permasalahan ini, namun segala sesuatunya dititikberatkan pada maskapai doang. Kalo masalah cuaca, emang berani minta tanggung jawab Tuhan?
hahahaha...

No comments:

Post a Comment