Who Am I? Not Spiderman

My photo
Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia
Rizky Novrianto is just an ordinary human being who try to live his life as extraordinary as it can be. I like to be different. You maybe able to find someone better than me, but You may never find someone like me. I hope common courtesy hasn't die yet. Treat people the way you want to be treated and even more, treat other people the way they want to be treated.

Saturday, September 24, 2016

How to Take Critics Like a Champion

Pernah denger kalimat mutiara berikut, "Critics are breakfast of Champions" yang kurang lebih terjemahan asalnya, "Sarapan paginya para juara tuh adalah kritik."

Kalo belum denger dan belum ada yang ucapin, maka QQ klaim dah tuh kalimat mutiara.

Jadi berdasarkan kalimat tersebut, kita temukan fakta bahwa para juara tuh adalah orang-orang miskin. Gimana ga miskin, orang tuh ya sarapannya Roti atau Nasi Goreng, separah-parahnya Mie Instan lah kalo lagi cekak-cekak ala anak kost, eh ini malah sarapannya kritik, mana kenyanggg...

Eh jangan salah tapi, ga mengenyangkan tapi mematikan, hahaha...

Ini melanjutkan janji di blog sebelumnya, sebuah janji untuk meneruskan blog tentang gimana caranya menyampaikan kritik, sebuah janji yang sangaaat lama tertunda. Akhir-akhir ini emang nemuin mood buat nulis tuh setengah mati susahnya. Kudu duduk di cafe sambil dengerin musik-musik lounge dan download film-film box office pake torrent dengan kecepatan yang maknyosss...

Jadi gimana cara menerima kritik sebagaimana seorang juara?

Ada yang mau mencoba menjawabnya?
(contoh kalimat tidak berguna dalam sebuah blog... macem ini kuliah umum aja, trus ada yang ngacung gitu??)

Kenapa kritik menjadi penting dalam hidup dan kehidupan kita? mari kita mulai dari pertanyaan yang mendasar itu.

Bayangkan kita sedang menatap kaca, kita kemudian akan mungkin berkata,
a. "Nih rambut kayanya sudah saatnya dipotong..."
b. "Duh ada jerawat nih, perlu ditutupin pake blush on..."
(dont't blame me, I have minimum knowledge on how to use make up properly)
c. "Nih baju kayanya ga pas deh di badan..."

Dimana kira-kira kelemahan dalam metode self-critic tersebut?
Kalo kalian berpikir bahwa kelemahannya ada blind-spot katakanlah, kita ga bisa melihat punggung kita.

Yah, ga salah-salah amat... tapi ga bener-bener amat juga.

Masalahnya adalah, kalo emang kita niat, kita sebenernya bisa melihat blind-spot dalam diri kita sendiri. Contoh: gimana caranya ngelihat punggung kita? Pake kaca dua, depan belakang tapi jangan lurus-lurus amat posisinya, maka kita akan bisa melihat punggung kita, apakah blind-spot kita tersebut kotor atau ada rambut-rambut liar yang tumbuh? Kita bisa melihatnya.

Satu-satunya kelemahan dalam self-critic adalah kata self didalamnya, alias kritik ini adalah kritik yang dialamatkan oleh diri kita sendiri. Apa kelemahannya?
(lama-lama kebanyakan nanya deh nih tulisan, dijawab pembaca juga kaga...)

Kelemahannya adalah, kritik terhadap diri sendiri tuh kadang ga tepat. Bisa aja kita terlalu kejam terhadap diri sendiri atau malah sebaliknya, kita buta melihat kekurangan yang ada pada diri sendiri.

Contoh, ada orang yang selalu mengaggap diri mereka jelek sehingga ga PD, atau sebaliknya yang mukenye pas-pasan, Instagramnya isinya selfie semua. Kita juga ga bisa bilang seseorang itu cakep atau jelek karena that's about taste dan setiap orang bisa berbeda taste-nya.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk mendengarkan kritik dari orang lain tentang diri kita. Lalu kembali ke pertanyaan di judul, "How to take critics like a champion", maka jawabannya adalah, "Kita harus punya filter yang didukung oleh self-awareness yang memadai..."

Jadi ada dua faktor, 
a. filter
b. self-awareness

Setiap orang punya mulut, tapi seringan punyanya lambe, ga sekedar mulut. Kasar kadang tuh mulut kaya ga disaring, tapi hey... setiap orang memiliki hak atas opini mereka masing-masing dan hal tersebut dilindungi Undang-undang Dasar 1945 (#loh).

Pembaca setia blog ini pasti tahu cerita tentang Luqman, Anaknya dan Seekor Keledai, tentang gimana cara menanggapi kritik yang paling salah. Ga semua ucapan orang tuh harus kita dengerin dan kita tanggapin (filter) karena yang paling penting adalah niat yang ada dalam diri kita (self-awareness).

Kedua hal tersebut harus kita miliki. Filter yang tidak disertai dengan self-awareness maka akan menjadi sama aja dengan tidak mau mendengarkan kritik orang lain.

Misalkan, 
Kita hari ini keluar rumah pake kemeja warna pink dan celana skinny. Kita ngaca plus muter-muter 720 derajat berkali-kali dan menurut kita, udah oke.
Keluar rumah nih, trus ketemu orang pertama yang mengernyitkan dahi sambil komen, "Serius?? pink??"
Kalo kita punya mental lemah, langsung aja tuh lari-lari balik ke rumah sambil nangis gigit tisu terus akhirnya ganti baju.
Pertama, filter... Oke ini adalah opini dia, dia bajunya item melulu sekalinya warna juga warna tua, mungkin dia emang ga suka warna pink.
Ini ceritanya ngeles dulu nih, untuk mengkonfirmasi diri sendiri dan pilihan yang udah kita buat. 
Orang kedua bilang, "Duh, kaya banci Bro...!!!"
Sekali lagi, kalo mental lemah, langsung ngesot sampe rumah dan nangis darah trus ganti baju dah.

Eh kok kesannya, filter-nya terlalu rapat nih.
Maka datanglah metode kedua, self-awareness. Kita mengenakan baju ini untuk siapa?
Apakah untuk menyenangkan diri kita sendiri atau memang kita mengenakannya untuk menyenangkan seseorang?
Katakanlah kita hendak mendatangi sebuah wawancara, maka kita mengenakan baju tersebut untuk menyenangkan diri sendiri supaya PD, sekaligus untuk meninggalkan kesan tertentu pada orang yang akan mewawancarai kita. 
Maka kritik yang harus dan wajib kita dengarkan adalah, kritik dari orang yang mewawancarai kita. Sementara kritik dari orang lain menjadi masukan yang kita dengarkan.

1. Yakin ga kita kenal dengan orang yang akan mewawancarai kita luar dan dalam untuk meyakini bahwa pilihan pakaian yang kita buat akan tidak membuat dia berpendapat lain?
2. Kalo kita yakin dia ga akan bermasalah dengan warna pink, maka ga ada masalah. Ga perduli seluruh dunia mencerca, maka kita harus maju terus sebagaimana seorang champion.
3. Namun kalo kita ga yakin, maka yang harus kita dengarkan adalah opini orang-orang di sekitar kita. Kalo 9 dari 10 orang nyinyir, maka mungkin emang apa yang kita kenakan itu sedikit agak berlebihan dan gantilah warna netral atau sesuatu yang lebih umum. 

Lalu kalo ujung-ujungnya kita ganti baju juga, apa bedanya menanggapi kritik selayaknya seorang juara dan selayaknya orang biasa?
Bedanya ada di self-awareness. Kita menyadari bahwa kita ga mengenal orang yang akan mewawancarai kita. Daripada ada kemungkinan extremely success karena ternyata seleranya sama atau extremely fail karena ternyata selera ga sama, lebih baik cari aman dong, masih ada 50:50 chance paling ga. 

Tapi hasil tindakan yang kita tempuh itu bukan kita lakukan hanya karena satu atau dua orang bilang sesuatu, namun kita lakukan dengan sebuah judgement yang didapatkan dari hasil pemikiran dan mungkin sedikit data statistika. Bisa juga pake data lain, namun seorang juara akan memakan kritik tersebut untuk kemudian dicerna. Dari hasil olahan perut, kritik tersebut ada yang diserap ada juga yang dibuang jadi kotoran, karena kita harus menyadari juga bahwa kritik tidak selalu ditujukan untuk membangun diri seseorang.

Dalam sebuah dunia yang ideal, kritik kita tujukan untuk membangun, namun dalam real world, kritik yang disampaikan seseorang kepada kita terkadang bertujuan untuk menjatuhkan diri kita.
Wow, terkesan berprasangka buruk nih.
Well, berpikirlah secara pesimis, karena kemungkinan itu ada. Namun jangan lupa, ketika kita bertindak, bertindaklah secara optimis.

Namun jangan juga kita membuat diri kita dilingkari oleh orang-orang yang hanya bisa memberikan kritik-kritik manis terhadap diri kita. Ketika kita diberi gula, mungkin awalnya akan terasa manis, namun lama-lama kalo kebanyakan gula, kita bisa mati karena diabetes.

Kritik yang bagus adalah kritik yang berharga dan teman yang bisa memberikan kritik yang bagus adalah teman yang berharga. Faktanya adalah mungkin kritik itu emang pahit dan menyakitkan terkadang, namun klo kita bisa punya temen yang bisa menyampaikan kritiknya dengan baik, maka itulah yang paling kita perlukan dalam bertindak agar tindakan yang kita lakukan bisa lebih terjaga. 

Sekarang tinggal kita aja yang berada di posisi sebagai penerima kritik, akankah kita menanggapi kritik tersebut layaknya seorang champion atau seorang loser.

Pilihan ada di diri kita masing-masing.
Hey, meskipun menurut beberapa orang free-will hanya sebuah ilusi, namun kita masing-masing tetap bisa men-set pola pikir kita masing-masing dan menentukan bagaimana cara kita memandang dunia ini.