Satu hal yang memang sangat disayangkan bahwa kegiatan penyampaian pendapat melalui demo menjadi berujung anarkis dan QQ sendiri melihatnya pas mau menuju ke Kemenristekdikti, dimana ada orang yang mukanya berdarah-darah di pinggir jalan, entah karena apa. Well, secara SOP-nya sih QQ emang ga akan membuat sebuah opini, jadi mari kita bahas permasalahan ini dari kedua sisi...
Di satu sisi, QQ merasa kasihan karena ada korban dari operator taksi maupun ojek online, tapi menurut QQ, ga adil juga banyak meme yang keliaran di dunia maya yang seolah-olah menyudutkan si operator taksi warna biru itu. Terlepas dari bahwa dia memang terdaftar sebagai sopir pada perusahaan taksi tersebut atau tidak, rasanya emang ga adil untuk kemudian men-judge keseluruhan armada berdasarkan perilaku buruk satu atau dua orang.
Tapi memang menurut QQ demo berujung anarkis itu emang sangat-sangat tidak elegan, karena secara umum, menurut QQ banyak cara lain untuk mengungkapkan pendapat selain demo, karena demo di jalan itu mau seaman apapun, selalu memiliki risiko untuk berujung anarkis. Demo sopir taksi ini mengingatkan QQ dulu pas demo Gojek pertama kali diluncurkan, sopir ojek merasa dirugikan. Mulailah ada pelarangan gojek untuk beroperasi di wilayah-wilayah tertentu oleh komunitas-komunitas ojek yang merasa menguasai wilayah tersebut.
Kalo kita pandang hal ini dari sisi kemajuan teknologi, maka akan sangat tidak bijak kalo kita berusaha membendung kemajuan teknologi saat ini. Kemungkinan besar, bendungan yang kita bangun itu akan jebol.
Kita buat sebuah perumpamaan yang sangat suka QQ gunakan untuk menjelaskan kemajuan teknologi dan resistensi kita terhadapnya. Bayangkan jaman dulu tuh kita masih menggunakan jalanan tanah, sehingga kita menggunakan transportasi jalan kaki atau sepeda. Kemudian ditemukan aspal dan mulailah jalanan menjadi lebih halus kemudian orang menggunakan sepeda motor, sepeda mungkin masih dipakai, namun sudah jarang orang yang jalan kaki.
Lama-kelamaan, terciptalah jalan tol yang lebar, pertanyaannya... apakah kita masih akan menggunakan sepeda motor, sepeda dan/atau berjalan kaki? Ketika alasannya harga mobil mahal, maka tentu saja kita akan menggunakan opsi yang kita mampu, tapi ketika harga bukan merupakan faktor, alias murah, maka yakinlah semua orang akan beralih menggunakan mobil karena lebih nyaman.
Perumpamaan itu seperti perkembangan internet saat ini, jalur internet broadband tuh udah kaya jalan tol yang luas tadi, orang mulai menemukan cara-cara untuk memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Untuk menggunakan internet tersebut, saat ini sudah semakin murah. Toko fisik bergeser menjadi toko online.
Toko yang sebelumnya membutuhkan sewa lokasi, bayar gaji pegawai dan lainnya, kini bisa dioperasikan oleh satu orang dan dari rumah. Perasaan QQ sih, ketika Lazada, Blibli, Tokopedia dan lainnya booming, kayanya ga ada deh demo dari toko fisik. hmmm... sudah kuduga...
Karena orang merasakan dampaknya.
Begitu juga ketika ojek beralih menjadi layanan online, dimana sopir ojek tidak perlu berkeliaran mencari penumpang, atau penumpang ga perlu lagi berjalan menuju ke pangkalan ojek terdekat untuk menggunakan jasa ojek. Kita tinggal duduk manis di titik yang ditentukan dan ojek akan datang menjemput kita.
Dikasih kemudahan kok resisten, maka analisisnya adalah, kemampuan orang untuk menggunakan teknologi. Kalo perlu, sekarang tuh ga perlu lagi ada ojek offline, daripada demo menentang adanya ojek online, lebih baik energi yang dihabiskan digunakan untuk belajar penggunaan layanan ojek online dan semua orang bisa menikmati penghasilan tambahan yang ada.
Nah, kemudian muncullah Uber yang mengancam keberadaan taksi. Selama ini, citra taksi di mata masyarakat cukup negatif. Yang kalo ketinggalan barang kemungkinan besar ilang, pake-nya argo kuda, diajak muter-muter kalo ga tahu jalan. Kemudian muncul Uber dimana mobilnya wangi, tarifnya lebih murah, pelanggan bisa komplen kalo diperlakukan tidak baik oleh sopirnya, dan lain-lain.
Sebuah perbandingan yang QQ gunakan adalah ongkos taksi dari Kemayoran ke Bandara. Kalo naik taksi, mau yang biru atau yang putih, ongkosnya berkisar IDR 120-140 ribu (exclude toll), namun kalo naik Uber yang sama-sama belum termasuk toll, cuma IDR 70-80 ribu saja.
Kemudian argumen yang muncul adalah, "Ya iyalah, Uber ga bayar pajak, ga harus ngurus trayek, keur dan permalahan perijinan lainnya."
Makanya sopir taksi menuntut untuk Uber supaya dibubarkan.
Padahal kalo dipikir-pikir, untuk beroperasi Uber, itu konon harus terdaftar di perusahan rental mobil, sementara untuk tarif memang strukturnya berbeda sama tarif taksi yang diatur oleh pemerintah. Saat ini Pemerintah belum mengeluarkan aturan terkait dengan tarif rental mobil.
Uber memang kurang patut untuk disebut sebagai taksi karena Uber merupakan layanan rental mobil jangka pendek. Sehingga tarif rental diserahkan kepada pemilik rental dan penumpang, harganya masih mengikuti mekanisme pasar yang dalam hal ini ditentukan oleh perusahaan Uber.
Salah satu contoh dari bagaimana campur tangan pemerintah bisa mengurangi efektifitas dari mekanisme pasar. Ketika pemerintah masuk menetapkan tarif taksi, terlepas itu keputusan murni pemerintah atau berdasarkan usulan perusahaan taksi, dibandingkan dengan mekanisme pasar yang diterapkan Uber. Harga transportasi bisa lebih murah.
Ini hasil QQ diskusi dengan baik sopir taksi dan sopir Uber.
Taksi memiliki mekanisme, setelah tujuh - sepuluh tahun, mobil taksi dapat menjadi milik sopir untuk kemudian terserah mau dijual atau mau tetap diopperasikan. Kemudian kita lihat besaran ongkos taksi tersebut.
Uber memiliki mekanisme yang beragam,
- Sopir melakukan Rental mobil ke perusahaan rental dengan biaya mulai dari IDR 100ribu/hari hingga IDR 1 juta/minggu dan penghasilan 100% menjadi milik sopir Uber.
- Sopir bekerja pada perusahaan rental untuk kemudian bagi hasil 30%-40% untuk rental dan 60%-70% untuk sopir.
- Sopir melakukan cicilan mobil kemudian daftar ke perusahaan rental kemudian membayar 5% dari penghasilan harian kepada rental sebagai biaya pinjam nama tadi.
Penghasilan sopir Uber yang pernah QQ tanya sangat beragam, mulai dari IDR 500ribu/hari hingga IDR 3 juta per minggu. Bayangkan dengan tarif mereka yang lebih murah, mereka bisa dapet segitu. Kemudian andaikata sopir taksi sama rajinnya ama sopir uber dalam cari penumpang dengan tarif mereka yang nyaris 2 kali lipat, secara logika sok tahunya QQ sih, harusnya penghasilan mereka bisa dobel dong.
Tapi nyatanya kayanya nggak begitu.
Nah, dimana masalahnya?
Layanan online ini memungkinkan layanan apapun yang masuk ke ranah online itu meraih konsumen-konsumen yang belum bisa diraih sebelumnya. Sehingga, potensi konsumen yang sebelumnya ada menjadi bertambah luas, jaringan konsumen yang tidak bisa digaet oleh taksi offline.
Jangan salah, Bluebird contohnya, sudah berusaha masuk ke ranah online ini melalui applikasinya. Kalo kalian cari, ada apps-nya baik di playstore maupun apple store. Jauh sebelum Uber masuk ke Indonesia. Tapi menurut QQ ga sukses sama sekali. Kenapa? karena bentukannya masih taksi. Padahal Bluebird merupakan taksi Indonesia dengan citra yang paling baik.
Kemudian masuklah Uber, layanan yang sepenuhnya online dengan tarif murah. Menurut QQ, sebenernya pasaran Bluebird tidak sepenuhnya rusak akibat kedatangan Uber ini, karena Bluebird masih memiliki nilai jual di mata masyarakat kita. Yang menurut QQ pasarannya menjadi ancur beneran ancur adalah taksi yang ga jelas yang banyak keliaran di Jakarta. Udah citranya emang buruk, tarifnya mahal ditambah dengan datangnya pesaing yang menawarkan harga lebih murah. Abislah sudah...
Sebenarnya usaha taksi dan Uber ini bisa berdampingan satu sama lain.
Kuncinya adalah, dengan adanya Uber alias layanan yang lebih murah, kini pemerintah bisa melepaskan penetapan tarif taksi kepada pasar. Ga usah lagi Kementerian Perhubungan ikut campur dalam penetapan tarif taksi. Biarkan pasar yang menentukan besarannya.
Jika tarif taksi berhasil turun dan bahkan menyamai tarif Uber, plus layanannya yang ditingkatkan. Besar keyakinan QQ, bisnis Uber akan melemah. Argumennya adalah, layanan Uber dan taksi online sejenisnya tuh memiliki sebuah kelemahan yang fatal. Kelemahan itu adalah "Waktu tunggu yang terkadang lama dan pengalaman sopirnya yang masih minim."
Kalo QQ mau ke bandara, bisa-bisa setengah jam nungguin Uber buat datang ke kost, karena faktor sopir uber yang masih sedikit sehingga seringnya dapet sopir yang mangkal di Sunter, atau faktor sopirnya ga tahu jalan, sehingga QQ harus nelpon dan kemudian memberikan arahan, padahal udah jelas-jelas di GPS handphone sopirnya lokasi QQ muncul.
Ini adalah kelemahan fatal Uber yang QQ heran kenapa ga pernah ada yang memanfaatkannya.
Oops, don't get me wrong... I love Uber very much, hanya saja gerah rasanya melihat kok orang malah lebih memilih turun ke lapangan kemudian berujung anarkis daripada berargumen secara lebih elegan.
Keuntungan taksi, terutama Bluebird, selain didukung oleh citra dan pelayanan yang baik adalah taksi selalu tersedia di pinggir jalan. Kecuali wilayah-wilayah terpencil. Mau naik taksi? tinggal jalan ke pinggir jalan terdekat dan kemungkinan 5 menit kemudian taksi lewat.
Di kantor QQ, Lapangan Banteng aja, nungguin Uber bisa 20-30 menit, sementara taksi seliweran di pinggir jalan.
Sehingga alasan orang merelakan waktu mereka untuk menunggu Uber adalah karena tarf yang lebih murah tadi. Sementara bagi orang yang lebih menghargai waktu, lebih rela membayar lebi mahal untuk naik taksi yang selalu tersedia di pinggir jalan.
Contoh aja, kalo lagi jalan ama Bos, QQ menghindari naik Uber karena ga enak aja kalo sampe Bos lama berdiri karena nungguin Uber datang. Jadi ada kalanya Taksi itu lebih dipilih daripada menggunakan Uber. Nah, daripada berdarah-darah di jalan, kenapa ga lebih meng-explore hal ini aja?
Kembalikan penetapan harga taksi melalui mekanisme pasar dan kemudian taksi masuklah ke ranah online dengan membangun aplikasi masing-masing. Dengan demikian taksi online dan taksi offline bisa kemudian bersaing secara adil di lahan yang sama dan yang untung siapa?? Masyarakat yang menggunakan jasa transportasi...!!!!
Menurut QQ kekuatan terbesar Uber adalah di harga dan review pengguna. Tahukan anda, berdasarkan pengakuan beberapa sopir Uber, kalo penumpang ngasih tiga bintang dan secara berkelanjutan sopir tersebut mendapatkan nilai di bawah tiga bintang, maka sopir tersebut bisa di-suspend ijinnya buat ng-Uber?
Atau jika kalian merasa diputer-puterin oleh sopir Uber, kalian bisa menuliskan komplain tersebut di bagian review sopir dan kalian bisa mendapatkan pengembalian uang kalian yang terpotong di kartu kredit?
Satu lagi kekuatan Uber menurut QQ adalah pembayarannya yang pas dan sederhana, pake kartu kredit. Yang kita bayar adalah sesuai yang kita gunakan. Kalo naik taksi? pasti dibuletin ke puluhan ribu terdekat ke atas. Namun Uber berusaha meluaskan pasar kayanya dengan kemudian menawarkan penumpangnya untuk bisa membayar secara tunai. Yah, selama masih bisa pake kartu kredit, aman lahhh...
Jadi, pengusaha taksi??
Daripada demo supaya Uber dibubarin, demo aja tuh pemerintah supaya ketentuan tarif taksi untuk dicabut dan mulailah bersaing secara sehat dengan pesaing bisnis kalian.
Secara alamiah, pesaing akan selalu muncul, dan kita tentu saja ga bisa kaya anak kecil, lapor ke mama papa untuk minta menghajar tuh pesaing baru supaya ga berani masuk ke bisnis yang kita jalani. Grow up!!! kalo ada pesaing yang muncul, lakukan analisa yang komprehensif..
Bukan berarti QQ memihak Uber, karena terlepas dari tarif yang mereka tetapkan dengan murah tadi Uber sendiri tentu akan ga bisa bertahan kalo harga tadi kemurahan dan ga sesuai mekanisme pasar. Kalo sopir merasa harga tersebut kemurahan dan sudah ga sesuai lagi ama biaya operasional, maka tentu saja ga bakal ada yang mau jadi sopir Uber.
Namun Faktanya, komunitas sopir Uber semakin luas, sehingga apa artinya...?? dengan tarif semurah itu, Sopir Uber masih bisa untung.
Kemudian, berapa besar sebenarnya untung yang didapatkan oleh perusahaan taksi???
Dan anda-anda para sopir taksi, masih mau gitu membela perusahaan taksi yang mengambil untung besar dari kerja keras kalian?
Kehadiran internet yang semakin meluas saat ini memang mendatangkan ancaman, namun juga peluang yang sangat besar. Kemajuan hanya berpihak pada mereka yang bisa melihat peluang, sementara sisanya hanya menikmati saja dan ikut-ikutan. Dan ingatlah, keuntungan itu hanya berpihak juga pada mereka yang cepat beradaptasi.
Lihat Gojek saat ini, kalo kalian maen ke Grand Indonesia, akan tampak terlihat abang Gojek dan juga Grab Bike mangkal di pinggir jalan sudah layaknya kaya ojek reguler. Jadi ada kalanya pasar juga jenuh dan siapa yang dapet untung paling besar? Abang-abang gojek yang dulu pertama kali gabung pas Gojek baru terbentuk. Sekarang?? mungkin ga segede dulu. Makanya Gojek kemudian melebarkan sayap dimana Gojek bisa dipake buat belanja, kirim surat/dokumen, dan lainnya.
Peluang akan selalu ada, tinggal siapa yang bisa melihatnya dan kemudian menangkapnya untuk kemudian dimanfaatnya sebesar-besarnya untuk kepentingan pihak tertentu.
Setiap usaha pasti ada kelemahannya, dan celah kelemahan itulah yang harus selalu kita lihat dan perbaiki. Kenapa toko offline masih bisa bertahan di banjirnya toko online saat ini?
Karena harga mereka masih bersaing dan toko online memiliki kelemahan fatal yaitu terkait dengan melihat dan mencoba secara langsung fisik barang. Banyak orang yang menggunakan layanan toko online, namun untuk komunitas tertentu, masih lebih memilih ke toko offline untuk alasan tertentu. Lazada contohnya sudah mencoba mengatasi kelemahan tersebut dengan jaminan pengembalian barang kalo ga puas, tapi siapa yang mau repot mengembalikan barang tersebut ke kantor pos atau agen pengiriman terdekat, ujung-ujungnya sama aja repotnya sama langsung aja belanja ke toko offline.
Tinggal sekarang bagaimana kita bisa menilai untuk diri kita sendiri dalam melakukan usaha, kira-kira bisnis yang kita miliki lebih tepat dilakukan secara online atau offline...? Atau kenapa tidak memiliki keduanya, best of both worlds....
Your call...!!!