Tadi pas keliling-keliling kantor, lewatlah sebuah ruangan dengan layar komputer yang menyala, kelihatan wallpaper-nya tuh sebuah quote berupa hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebuah hadits yang sudah tidak asing bagi mata kita (kan ngebaca nih ceritanya, bukan mendengar), bahkan dulu itu pernah QQ denger entah dimana, bahwa tidak hanya menahan amarah, tapi "Menahan amarahnya sementara dia sebenarnya mampu membalas."
Namun kalo dipikir-pikir, amarah memang sebuah emosi yang secara naluri dimiliki semua manusia. Hewan juga punya, induk kucing mana yang ga marah ketika anak-anaknya digangguin? Lantas kita jadi berfikir, apakah marah bisa menjadi benar jika ada alasan yang tepat??
Tunggu sebentar....
Misalkan gini, katakanlah QQ tuh kurus kering yang kalo ditiup angin aja melayang. Tiba-tiba ada preman datang dan nonjok QQ tanpa alasan yang jelas kemudian ngerampok duit yang ada di dompet QQ. Trus QQ diem aja dan ga membalas perbuatan orang tersebut.
Bisa ga QQ bilang kalo QQ udah menahan amarah dengan tidak membalas perbuatan si preman tersebut?
eh, not really....
lain cerita kalo kondisinya dibalik, QQ adalah si orang yang kekar berotot dan tiba-tiba ada yang nabrak QQ dari belakang, trus sakit dan rasanya QQ pengen bales tapi ditahan. Nah, itu mungkin bisa dikategorikan sebagai menahan amarah, karena ada unsur "sebenarnya mampu membalas, tapi menahan"
Pas makan siang tadi, ada dua kisah.
Latar belakang untuk cerita pertama adalah, meja makan di Kantin Kantor Pos Pusat tuh pas untuk ber-enam. Kemudian ada empat orang datang ke sebuah meja yang sudah terisi tiga orang. Jadilah yang empat orang tadi duduk berhimpit-himpitan sementara 3 orang yang sudah duduk di meja itu udah selesai makannya, namun masih ngobrol panjang dan lebar. Ceritanya QQ juga lagi nyari meja buat makan sih... hahaha... jadinya cebel juga ama tuh tiga orang yang ga pergi-pergi.
Alkisah tiba-tiba tiga orang tersebut pergi, QQ langsung duduk, dan empat orang yang berhimpit-himpitan tadi langsung mengatur posisi agar posisi makan mereka lega. Eh tiba-tiba pada nyeletuk, "Ih gila ya tiga orang tadi... tega banget mereka ga makan tapi ngobrol-ngobrol doang dan kita yang himpit-himpitan gini, mereka cuek aja."
Keluar lah segala amarah yang tadi dipendam.
Oh ternyata dari tadi menahan marah si empat orang tersebut.
Nah kalo dipikir-pikir, seandainya mereka cukup bergeser saja ketika tiga orang tadi pergi dan tidak perlu cuap-cuap mengungkapkan kekesalan mereka, mungkin mereka bisa menjadi orang yang kuat. Karena sebenarnya mereka mampu untuk marah sama si tiga orang tadi, tapi mereka menahannya. Eh ternyata di ujung, pecah juga marahnya. Ada kali 5 menit selanjutnya ngebahas tentang "ga tahu dirinya" si tiga orang tadi.
Mari kita gunakan teknik perasaan versus logika:
Perasaan: Anjrit lah, kita udah sempit, tuh orang ga peka, padahal kita udah kasih ratusan kode tapi kok ga paham-paham juga. kesel, sebel, benci.
Logika: Duduk berempat, masih bisa makan? Alhamdulillah, lihat tuh ada yang berdiri belum dapet meja. Orang itu akhirnya pergi? Alhamdulillan, akhirnya bisa lapang-an dikit buat makan.
Kisah kedua ada di meja sebelahnya, si Ibu pelayannya nanyain ke seorang dara di meja sebelah, "Minumnya apa Neng?"
Eh tiba-tiba si Neng-nya langsung jawab, "Eh! saya tadi udah bilang sama si ibu yang disana minumnya apa"
Mari kita analisis lagi,
Perasaan: Eh, aku udah ngomong tadi, ga enak tahu kalo udah ngomong ga diperhatiin. aku tersinggung, ga terima!!!
Logika: jawab aja, "Es Teh Manis" sambil senyum manis, cukup tiga kata. Bandingkan dengan kalimat sebelumnya, 12 kata. Kita menghemat 9 kata dan menghemat daya tahan jantung kita dengan menahan amarah.
Nah kalo kita analisis lagi contoh pertama soal kalo kita sebenarnya dalam posisi lemah untuk membalas. Kemajuan teknologi saat ini terkadang membuat kita sudah tidak lemah lagi dalam posisi apapun. Kita semua ketika terhubung dengan internet, menjadi tiba-tiba memiliki super power of social media.
Misalkan kita pendapatkan pelayanan yang tidak menyenangkan di restoran, namun sebagai konsumen terkadang kita merasa berada di posisi yang lemah untuk mengajukan komplain, takut diludahin makanannya di dapur kali... hahaha...
Jadi ketika kita mendapatkan pelayanan yang tidak menyenangkan, kita terkadang bisa menahan amarah. Tapi begitu kita terhubung ama social media. Amarah itu menjadi tertuang, langsung posting foto trus nulis, "Nih restoran ancur banget pelayanannya, udah bayar mahal-mahal tapi kok gitu. Ga worth it, ga bakal deh balik lagi kemari!!!!"
Sekarang tuh, kita terlalu mudah untuk marah. Banyak outlet penyalurannya. Meskipun kelihatannya bukan marah, kedoknya ngasih kritik. Tapi terkadang batasan itu sangat tipis antara kita beneran ngasih kritik sama marah. Karena kalo ngasih kritik, ya ke orang yang dimaksud dong, bukan ke seluruh dunia, hahaha...
Kita tidak pernah tahu dampak apa yang bisa ditimbulkan atas postingan kita tersebut, terlepas dari kita cuma punya 10 temen di path.
Jadi klausul "Menahan amarahnya sementara dia sebenarnya mampu membalas" menjadi kurang terlalu valid karena di era teknologi sekarang ini, kita semua menjadi mampu untuk membalas alias menuangkan amarah dalam bentuk-bentuk yang bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Sama seperti fitnah, meskipun hanya kata-kata, tapi fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Dulu kalo marah, langsung bales tonjok, tapi sekarang kalo marah di sosial media, dampaknya bisa menyebar secara exponentially hingga tak terhingga. #lebay
Pernah denger cerita soal anak kecil dan paku?
Jadi seorang Ayah mengajarkan pada anaknya, "Anakku, setiap kali kamu merasa marah dan tidak dapat menahannya hingga akhirnya amarah itu kamu lampiaskan, tancapkanlah sebatang paku di kayu ini."
Si Anak ini memang agak tempramental dan mudah marah, sehingga dalam sehari bisa saja 5-10 paku tertancap di kayu tersebut.
Kemudian Ayahnya mengatakan, "Anakku, cobalah tahan amarahmu dan setiap kali kamu marah namun berhasil menahannya, cabutlah satu paku yang tertancap."
Si Anak ini mendengarkan permintaan ayahnya dan perlahan-lahan dia mulai bisa menahan amarahnya dan paku yang tertancap di kayu tersebut lama-lama habis.
Kemudian sang Ayah berkata, "Lihatlah kayu ini, sekeras dan sehati-hati apapun kita berusaha mencabutnya, lubangnya akan tetap tertinggal. Itulah perumpamaan pelampiasan amarahmu, ada konsekuensi yang sudah kamu lakukan dan itu akan meninggalkan bekas dalam diri orang lain dan tidak mudah untuk menghilangkan bekas tersebut. Berhati-hatilah ketika kamu akan marah..."
Oooh.... tiba-tiba sendu...
hayooo, ada yang nangis ga baca cerita di atas???
Maka dari itu hadits Nabi Muhammad SAW itu menyatakan bahwa orang terkuat di muka bumi ini adalah orang yang bisa menahan amarahnya. Karena menahan amarah itu memang sulitnya bukan maen. Yah kecuali kalian semua sudah menguasai jurus Road to Inner Peace yang bentar lagi mau QQ patenkan aah... hahaha...
Godaan untuk marah tuh pasti ada, entah karena kita merasa superior, lebih baik daripada orang lain atau hal lainnya. Tinggal bagaimana kita bisa mengendalikannya aja. Orang yang sering marah tuh konon potensi kena serangan jantungnya makin tinggi *)...
*) butuh citation, ga valid, sepenuhnya berdasarkan asal denger aja
Inget aja, bahwa marah itu butuh energi. Ngapain kita ngabisin energi untuk marah sementara kalo sebuah keluhan atau komplain itu bisa kita salurkan lebih baik dan efektif dengan cara diskusi?
Terus bisa ga sebenarnya kita marah??
Bisa, marahlah dalam do'a-mu.
Sampaikanlah keluhanmu kepada Allah SWT.
"Ya Allah, hari ini aku kesel banget sama si A karena kok dia ga pernah mengerti perasaanku"
"Ya Allah, hari ini aku benci banget sama si B karena aku ga salah apa-apa tapi aku ditonjok"
dan lainnya... kesallah dan marahlah, tapi ungkapkan itu dalam do'a dan renunganmu. Keep your anger to yourself.
Tapi sekali lagi, coba lihat dari sudut pandang perasaan versus logika, kemudian fokuslah pada sudut pandang logika. Terkadang kita menjadi tidak perlu marah, karena marah hanya mendatangkan kerugian bagi diri kita sendiri.
Di jalan kita tiba-tiba dipotong dari arah yang ga kita duga... tahan diri kita dari mencet klakson kenceng-kenceng sambil ngabsen isi kebun binatang.
Di jalan tiba-tiba ada yang ngeludah dan plok nempel di muka kita... tahan diri kita dari motong orang itu dari samping dan kemudian nendang dia sampe jatoh (sempet pengen gitu), alih-alih berdo'a semoga aja tuh ludah ga bau jigong dan ga mengandung AIDS... terus stop bentar, ambil tisu dan sekalah sampe bersih. Kemudian berdo'alah, "Ya Allah, semoga Engkau memberi pelajaran pada orang tersebut agar dia tidak lagi berbuat kesalahan..."
Let it flowwww....
Let it flooowwww....
(pake nada-nya Let it Go)
What can I do in one lifetime... I guess a lot. So let me share you a part of my one lifetime in this world. A wise man once said, "A smart person learn from his mistakes, but a wise person finds the smart person and learn from his mistakes altogether" Hope you can learn something from my story...
Who Am I? Not Spiderman
- Chronov
- Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia
- Rizky Novrianto is just an ordinary human being who try to live his life as extraordinary as it can be. I like to be different. You maybe able to find someone better than me, but You may never find someone like me. I hope common courtesy hasn't die yet. Treat people the way you want to be treated and even more, treat other people the way they want to be treated.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment